Kaum Muslimin Rahimakumullah berikut
kami akan bawakan beberapa Fatwa para Ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah tentang
hakikat kelompok Jama’ah Tabligh, mundah-mundahan dengan penjelasan para ulama
ini sebagai pencerah bagi kaum muslimin agar mereka tidak mudah tertipu dengn
berbagai macam kelompok yg menyimpang dari jalan kebenaran, khususnya kelompok
jama’ah tabligh ini, yg sudah menjamur didunia ini khususnya di Indonesia sampai
kepelosok-pelosoknya.
Akhir-akhir ini telah banyak
tersebar kelompok ini dikalimantan tengah, dan tidak ketinggalan ditempat kami
yaitu DIKATINGAN dan sekitarnya kelompok ini sudah mulai banyak orang yg
tertipu dengan gaya dan penampilan mereka, mereka sudah punya tempat-tempat
untuk mengadakn majlis mereka, bahkan bisa kita katakan hampir semua masjid yg
ada dikatingan sudah semua dijajaki oleh mereka, masjid agung al Ikhlash kasongan, masjid Nurul Haq
desa Telangkah pun tidak luput dari
tempat singgah mereka ketika khuruj…merka singgah dirumah-rumah masyarakat
trsbt menawarkn untuk menghadiri sholat berjama’ah dan majlis-majlis mereka,
mereka tidak punya rasa takut kpd Allah menawarkn kpd orang-orang untk masuk k
kelompok mereka yg menyimpang tersebut. Maka kami hadirkn pernyatan2 para Ulama
tentang kelompok ini kpd masyarakat kami yg dikatingan khususnya, dan kaum
muslimin secara umum agar mereka tau hakikat kelompok ini supaya yg sudah masuk
ke jama’ah mereka untuk segera keluar dan bertaubat kpd Allah dari apa yg
pernah diamalkan…Dan satu hal yg perlu kita ingatkan juga kepada kaum muslimin
bahwa tatkala kita menyatakan kelompok ini telah menyimpang, khususnya tabligh
ini bukanlah pernyataan dari pribadi kita…akan tetapi sudah dibahas, diteliti,
dikaji dan sudah diputuskan bahwa jama’ah tabligh ini telah menyimpang oleh
para Ulama, sekali lg Tentunya keputusan mereka ini dibangun diatas dalil Qur’an
dan Sunnah . Selamat membaca….
1. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah
“Dari Muhammad bin Ibrahim kepada
yang terhormat raja Khalid bin Su’ud.
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa
barakatuhu. Wa ba’du:
Saya telah menerima surat Anda
dengan no. 37/4/5/D di 21/1/82H. Yang berkaitan tentang permohonan untuk
bekerja sama dengan kelompok yang menamakan dirinya dengan “Kulliyatud Da’wah
wat Tabligh Al Islamiyyah.”
Maka saya katakan: Bahwa jama’ah ini
tidak ada kebaikan padanya dan jama’ah ini adalah jama’ah yang sesat. Dan
setelah membaca buku-buku yang dikirimkan, kami dapati di dalamnya berisi
kesesatan dan bid’ah serta ajakan untuk beribadah kepada kubur dan kesyirikan.
Perkara ini tidak boleh didiamkan. Oleh karena itu kami akan membantah
kesesatan yang ada di dalamnya. Semoga Allah menolong agama-Nya dan meninggikan
kalimat-Nya. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. 29/1/82H.” (Al
Qaulul Baligh hal. 29 dengan diringkas)
2. Syaikh Hummud At Tuwaijiri Rahimahullah
“Adapun ucapan penanya: Apakah aku
menasehatinya untuk ikut khuruj dengan orang-orang tabligh di dalam negeri ini
(Saudi) atau di luar?
Maka saya jawab: Saya menasehati
penanya dan yang lainnya yang ingin agamanya selamat dari noda-noda kesyirikan,
ghuluw, bid’ah dan khurafat agar jangan bergabung dengan orang-orang Tabligh
dan ikut khuruj bersama mereka. Apakah itu di Saudi atau di luar Saudi. Karena
hukum yang paling ringan terhadap orang tabligh adalah: Mereka ahlul bid’ah,
sesat dan bodoh dalam agama mereka serta pengamalannya. Maka orang-orang yang
seperti ini keadaannya, tidak diragukan lagi bahwa menjauhi mereka adalah sikap
yang selamat.
Sungguh sangat indah apa yang
dikatakan seorang penyair:
Janganlah engkau berteman dengan
teman yang bodoh.
Hati-hatilah engkau darinya.
Betapa banyak orang bodoh yang
merusak seorang yang baik ketika berteman dengannya.”
(Al Qaulul Baligh, syaikh Hummud At
Tuwaijiri hal. 30)
3. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani Hafidhahullah
Pertanyaan:
Di sini ada pertanyaan: Apa pendapat
Anda tentang Jama’ah (firqah) Tabligh dan apakah ukuran khuruj ada terdapat
dalam sunnah?
Jawab:
Pertanyaan ini adalah pertanyaan
penting. Dan aku memiliki jawaban yang ringkas, serta kalimat yang benar wajib
untuk dikatakan. Yang saya yakini bahwa da’wah tabligh adalah: sufi gaya baru.
Da’wah ini tidak berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Khuruj yang mereka lakukan dan yang mereka batasi dengan
tiga hari dan empat puluh hari, serta mereka berusaha menguatkannya dengan
berbagai nash, sebenarnya tidak memiliki hubungan dengan nash secara mutlak.
Sebenarnya cukup bagi kita untuk bersandar kepada salafus shalih. Penyandaran
ini adalah penyandaran yang benar. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk tidak
bersandar kepadanya. Bersandar kepada para salafus sholih, -wajib diketahui
hakikat ini,- bukanlah seperti bersandar kepada seseorang yang dikatakan
pemilik mazhab ini atau kepada seorang syaikh yang dikatakan bahwa dia pemilik
tarikat ini atau kepada seseorang yang dikatakan bahwa dia pemilik jama’ah
tertentu. Berintima’ (bergabung) kepada salaf adalah berintima’ kepada sesuatu
yang ‘ishmah (terpelihara dari dosa). Dan berintima’ kepada selain mereka
adalah berintima’ kepada yang tidak ‘ishmah. Firqah mereka itu –cukup bagi kita
dengan berintima’ kepada salaf- bahwa mereka datang membawa sebuah tata tertib
khuruj untuk tabligh (menyampaikan agama), menurut mereka. Itu tidak termasuk
perbuatan salaf, bahkan bukan termasuk perbuatan khalaf, karena ini baru datang
di masa kita dan tidak diketahui di masa yang panjang tadi. (Sejak zaman para
salaf hingga para khalaf). Kemudian yang mengherankan, mereka mengatakan bahwa
mereka khuruj (keluar) untuk bertabligh, padahal mereka mengakui sendiri bahwa
mereka bukan orang yang pantas untuk memikul tugas tabligh (penyampaian agama)
itu. Yang melakukan tabligh (penyampaian agama) adalah para ulama, sebagaimana
yang dilakukan Rasulullah dengan mengutus utusan dari kalangan para sahabatnya
yang terbaik yang tergolong ulama mereka dan fuqaha` mereka untuk mengajarkan
Islam kepada manusia. Beliau mengirim Ali sendirian, Abu Musa sendirian, dan
Mu’adz sendirian. Tidak pernah beliau mengirim para sahabatnya dalam jumlah
yang besar, padahal mereka sahabat. Karena mereka tidak memiliki ilmu seperti
beberapa sahabat tadi. Maka apa yang kita katakan terhadap orang yang ilmunya
tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sahabat yang tidak dikirim Nabi,
apa lagi dibanding dengan para sahabat yang alim seperti yang kita katakan
tadi?! Sedangkan mereka (Firqah Tabligh) keluar berdakwah dengan jumlah
puluhan, kadang-kadang ratusan. Dan ada di antara mereka yang tidak berilmu,
bahkan bukan penuntut ilmu. Mereka hanya memiliki beberapa ilmu yang dicomot
dari sana sini. Adapun yang lainnya, hanya orang awam saja. Di antara hikmah
orang dulu ada yang berbunyi: Sesuatu yang kosong tidak akan bisa memberi. Apa
yang mereka sampaikan kepada manusia, padahal mereka mengaku (jama’ah) Tabligh?
Kita menasehati mereka di Suriah dan
Amman agar duduk dan tinggal di negeri mereka dan duduk mempelajari agama,
khususnya mempelajari aqidah tauhid, -yang iman seorang mukmin tidak sah walau
bagaimanapun shalihnya dia, banyak shalat dan puasanya-, kecuali setelah
memperbaiki aqidahnya.
Kita menasehati mereka agar tinggal
di negeri mereka dan membuat halaqah ilmu di sana serta mempelajari ilmu yang
bermanfaat dari para ulama sebagai ganti khurujnya mereka ke sana kemari, yang
kadang-kadang mereka pergi ke negeri kufur dan sesat yang di sana banyak
keharaman, yang tidak samar bagi kita semua yang itu akan memberi bekas kepada
orang yang berkunjung ke sana, khususnya bagi orang yang baru sekali berangkat
ke sana. Di sana mereka melihat banyak fitnah, sedangkan mereka tidak memiliki
senjata untuk melidungi diri dalam bentuk ilmu untuk menegakkan hujjah kepada
orang, mereka akan menghadapi, khususnya penduduk negeri itu yang mereka ahli
menggunakan bahasanya, sedangkan mereka (para tabligh) tidak mengerti tentang
bahasa mereka.
Dan termasuk syarat tabligh adalah
hendaknya si penyampai agama mengetahui bahasa kaum itu, sebagaimana
diisyaratkan oleh Rabb kita ‘Azza wa Jalla dalam Al Qur`an:
“Tidaklah kami mengutus seorang rasul
kecuali dengan lisan kaumnya agar dia menerangkan kepada mereka.” (Ibrahim: 4)
Maka bagaimana mereka bisa
menyampaikan ilmu, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka tidak memiliki ilmu?!
Dan bagaimana mereka akan menyampaikan ilmu, sedangkan mereka tidak mengerti
bahasa kaum itu?! Ini sebagai jawaban untuk pertanyaan ini. (Dari kaset Al
Qaulul Baligh fir Radd ‘ala Firqatit Tabligh)
4. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz Hafidhahullah
Pertanyaan:
Semoga Allah merahmati Anda, ya
syaikh. Kami mendengar tentang (firqah) tabligh dan dakwah yang mereka lakukan,
apakah anda membolehkan saya untuk ikut serta dengan mereka? Saya mengharap
bimbingan dan nasehat dari anda. Semoga Allah memberi pahala kepada anda.
Jawab:
Siapa yang mengajak kepada Allah
adalah muballigh, (sebagaimana Nabi bersabda –pent) “Sampaikan dariku walau
satu ayat.” Adapun jama’ah (firqah) tabligh yang terkenal dari India itu, di
dalamnya terdapat khurafat-khurafat, bid’ah-bid’ah dan kesyirikan-kesyirikan.
Maka tidak boleh khuruj (keluar) bersama mereka. Kecuali kalau ada ulama yang
ikut bersama mereka untuk mengajari mereka dan menyadarkan mereka, maka ini
tidak mengapa. Tapi kalau untuk mendukung mereka, maka tidak boleh, karena
mereka memiliki khurafat dan bid’ah. Dan orang alim yang keluar bersama mereka
hendaknya menyadarkan dan mengembalikan mereka kepada jalan yang benar. (Dari
kaset Al Qaulul Baligh)
Tanya:
Para penuntut ilmu menanya kepada
anda dan para ulama kibar (senior) lainnya tentang: Apakah anda menyetujui
kalau mereka bergabung dengan kelompok yang ada seperti Ikhwan, Tabligh,
kelompok Jihad dan yang lainnya atau anda menyuruh mereka untuk belajar bersama
para da’i salaf yang mengajak kepada dakwah salafiyyah?
Jawab:
Kita nasehati mereka semuanya untuk
belajar bersama para thalabul ilmi lainnya dan berjalan di atas jalan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Kita nasehati mereka semuanya agar tujuannya untuk
mengikuti Al Kitab dan sunnah dan berjalan di atas jalan Ahlus sunnah wal
Jama’ah. Dan hendaknya mereka menjadi ahlus sunnah atau para pengikut salafus
shalih. Adapun berhizb dengan Ikhwanul Muslimin, Tablighi atau yang lainnya,
maka tidak boleh. Ini keliru. Kita nasehati mereka agar menjadi satu jama’ah
dan bernisbah kepada Ahlus sunnah wal jama’ah. Inilah jalan yang lurus untuk
menyatukan langkah. Kalau ada berbagai nama sedangkan semuanya di atas satu
jalan, dakwah salafiyyah, maka tidak mengapa, seperti yang ada di Shan’a dan
yang lainnya, tapi yang penting tujuan dan jalan mereka satu. (Dari kaset Al
Qaulul Baligh)
5. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
Al Ghudayyan Hafidhahullah (anggota Hai’ah Kibarul Ulama`)
Pertanyaan:
Kami berada di suatu kampung dan
berdatangan kepada kami apa yang dinamakan dengan (firqah) Tabligh, apakah kami
boleh ikut berjalan bersama mereka? Kami mohon penjelasannya.
Jawab:
Jangan kalian ikut berjalan bersama
mereka!! Tapi berjalanlah dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam!! (Dari kaset Al Qaulul Baligh)
6. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Hafidhahullah
Pertanyaan:
Syaikh, di sana ada
kelompok-kelompok bid’ah, seperti Ikhwan dan Tabligh serta yang lainnya. Apakah
kelompok ini termasuk Ahlus Sunnah? Dan apa nasehat anda tentang masalah ini?
Jawab:
“Kelompok-kelompok ini… Telah
diketahui bahwa yang selamat adalah yang seperti yang telah saya terangkan
tadi, yaitu kalau sesuai dengan Rasulullah dan para sahabatnya, yang mana
beliau berkata ketika ditanya tentang Al Firqatun Najiyah: Yang aku dan para
sahabatku ada di atasnya. Firqah-firqah baru dan beraneka ragam ini, pertama
kali: bid’ah. Karena lahirnya di abad 14. Sebelum abad 14 itu mereka tidak ada,
masih di alam kematian. Dan dilahirkan di abad 14. Adapun manhaj yang lurus dan
sirathal mustaqim, lahirnya atau asalnya adalah sejak diutusnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Maka siapa yang mengikuti ini dialah
yang selamat dan berhasil. Adapun yang meninggalkan berarti dia menyimpang.
Firqah-firqah itu telah diketahui bahwa padanya ada kebenaran dan ada kesalahan,
akan tetapi kesalahan-kesalahannya besar sekali, maka sangat dikhawatirkan.
Hendaknya mereka diberi semangat
untuk mengikuti jama’ah yakni Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang berada di atas
jalan salaf ummat ini serta yang menta’wil menurut apa yang datang dari
Rasulullah bukan dengan yang datang dari si fulan dan fulan, menurut
tarikat-tarikat yang ada di abad 14 H. Maka kedua kelompok yang tadi disinggung
adanya hanya di abad 14 H. Mereka berpegang dan berjalan di atas jalan-jalan
dan manhaj-manhaj itu. Mereka tidak berpegang dengan dalil-dalil dari Al Kitab
dan Sunnah, tapi dengan pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran dan
manhaj-manhaj yang baru dan bid’ah yang mereka membangun jalan dan manhaj
mereka di atasnya.
Dan yang paling jelas di kalangan
mereka adalah: Wala` dan Bara`. Al Wala` wal Bara` di kalangan mereka adalah
bagi yang masuk ke dalam kelompok mereka, misalnya Ikhwanul Muslimin, siapa
yang masuk ke dalam kelompok mereka, maka dia menjadi teman mereka dan akan
mereka cintai walaupun dia dari rafidlah, dan akhirnya dia menjadi saudara dan
teman mereka.
Oleh karena ini mereka mengumpulkan
siapa saja, termasuk orang rafidlah yang membenci sahabat dan tidak mengambil
kebenaran dari sahabat. Kalau dia masuk ke dalam kelompok mereka, jadilah dia
sebagai teman dan anggota mereka. Mereka membela apa yang dia bela dan membenci
apa yang dia benci.
Adapun Tabligh, pada mereka terdapat
perkara-perkara mungkar. Pertama: dia adalah manhaj yang bid’ah dan berasal
dari Delhi (India –red) bukan dari Mekkah atau Madinah. Tapi dari Delhi di
India. Yakni seperti telah diketahui bahwa di sana penuh dengan khurafat,
bid’ah dan syirik walau di sana juga banyak Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seperti
jama’ah ahlul hadits, yang mereka adalah sebaik-baik manusia di sana. Tetapi
Tabligh ini keluar dari sana melalui buatan para pemimpin mereka yang ahli
bid’ah dan tarekat sufi yang menyimpang dalam aqidah. Maka kelompok ini adalah
kelompok bid’ah dan muhdats. Di antara mereka ada Sufi dan Asy’ari yang
jelas-jelas bukan berada di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dalam aqidah
dan manhaj. Dan yang selamat adalah orang yang mengikuti manhaj salaf dan yang
berjalan di atas jalan mereka.” (Dari kaset Al Qaulul Baligh)
7. Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali
Hafidhahullah
“Saya tidak pernah khuruj dengan
mereka (Firqah tabligh), tapi saya pergi untuk suatu keperluan, yakni ke
Kashmir. Setelah selesai dari pekerjaan ini aku melewati Delhi. Maka ada yang
mengatakan kepadaku: Mari kita singgah ke suatu tempat untuk dikunjungi, yaitu ke
markas Tabligh yaitu di Nizamuddin. Nizamuddin ini adalah masjid yang dekat
dengan markas jama’ah tabligh. Di dalamnya ada lima kubur yang diberi kubah.
Yakni kuburan yang disembah, bukan menyembah kepada Allah. Ini ibadah yang
jelas syirik. Maka kami melewati ‘monumen’ ini. Kemudian kami singgah ke markas
tabligh. Orang-orang berselisih apakah di dalamnya ada kuburan atau tidak.
Maku Abdurrab bertanya, ini orang
yang saya ceritakan tadi, apakah di dalam masjid Tabligh ini ada kuburan? Yang
cerdas di kalangan mereka berkata: Tidak, di sini tidak ada kuburan! Kuburan
Ilyas di Mekkah atau di tempat ini atau itu yang jauh. Maka dia terus bertanya
hingga ada seseorang yang menunjukkan atau mengabarkan bahwa di sana ada
kuburan Ilyas dan di sebelahnya kuburan istrinya.
Kemudian al Akh Abdurrab pergi ke
kedua kuburan itu dan mencari-carinya setelah ketemu, dia datang kepada kami
sambil berkata: Mari, saya tunjukkan kepada kalian dua kuburannya. Maka kami
melihat, ini kuburan Ilyas dan ini kuburan istrinya yang keduanya ada di dalam
masjid.
Kemudian setelah itu kami pastikan
bahwa di dalamnya ada empat kuburan, bukan dua kuburan saja. Kami memastikannya
melalui orang-orang yang dipercaya yang telah berjalan bersama Tabligh
bertahun-tahun.
Tidak akan berkumpul masjid dan
kuburan (di satu tempat) dalam agama Islam. Akan tetapi, mereka ini karena
kesufiannya, kebodohannya terhadap manhaj dakwah para nabi, jauh darinya dan
meremehkannya, mereka menguburkan para gurunya di masjid, padahal para ulama
telah mengatakan: bahwa shalat di dalam masjid yang ada kuburan atau beberapa
kuburan, shalatnya tidak sah. Saya bertanya tentang hal ini kepada Syaikh Bin
Bazz. Sebenarnya saya tahu tentang ini dan juga para Thalabul Ilmi bahwa shalat
di dalam masjid yang ada satu kuburan atau beberapa kuburan, shalatnya tidak
sah. Maka saya tanyakan kepada Syaikh Bin Bazz, agar hadirin mendengar
jawabannya. Saya katakan: Apa pendapat anda, syaikh, tentang masjid yang ada
kuburan di dalamnya, apakah sah shalat di dalamnya? Beliau menjawab: Tidak!
Saya katakan: Di dalamnya ada banyak kuburan? Beliau mengatakan: Terlebih lagi
demikian! Saya katakan: Kuburannya bukan di kiblat masjid, tapi di sebelah kiri
dan kanannya? Beliau menjawab: Demikian juga, tetap tidak sah. Saya katakan kepada
beliau bahwa masjid induk atau markas induk tabligh di dalamnya ada beberapa
kuburan? Maka beliau menjawab: Tetap shalatnya tidak sah!
Sangat disayangkan sekali, kelompok
ini bergerak di dunia, tetapi beginilah keadaannya; tidak mengajak kepada tauhid,
tidak membasmi syirik dan tidak membasmi jalan-jalan menuju kesyirikan. Mereka
terus berjalan dengan melewati beberapa kurun dan generasi tetap dengan dakwah
seperti ini. Tidak mau berbicara tentang tauhid, memerangi kesyirikan dan tidak
membolehkan bagi para pengikutnya untuk melaksanakan kewajiban ini. Ini adalah
suatu hal yang telah diketahui di kalangan mereka.
Maka kita meminta kepada mereka agar
kembali kepada Allah dan mempelajari manhaj dakwah para nabi, mereka juga
jama’ah yang lainnya.
Mengapa demikian wahai
saudara-saudara? Karena kalau ada yang berdakwah mengajak kepada shalat, orang
akan berkata: Silahkan! Tidak ada yang melarang, mereka tidak akan khawatir.
Akan tetapi coba kalau mengatakan: Berdo’a kepada selain Allah adalah perbuatan
syirik! Membangun kuburan haram hukumnya! Menyembelih untuk selain Allah adalah
syirik! Maka mereka akan marah.
Ada seorang pemuda yang berkhuthbah
di suatu masjid tentang persatuan, akhlak, perekonomian, dekadensi moral, dan
yang lainnya. Orang-orang semuanya, masya Allah, berkumpul dan mendengarkannya.
Kita katakan kepadanya: Ya akhi… jazakallahu khairan, khuthbah anda sangat
baik, tetapi orang-orang yang ada di hadapanmu ini tidak mengenal tentang
tauhid, mereka terjatuh dalam kesyirikan dan bid’ah, maka terangkan kepada
mereka tentang manhaj dakwah para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam! Maka
ketika dia mulai berbicara, merekapun mulai bersungguh-sungguh. Ketika dia
terus berbicara, merekapun semakin jengkel. Maka ketika yang ketiga kalinya ada
sekelompok orang yang ada di masjid bangkit dan memukulinya! Maka dia datang
kepadaku sambil menangis. Dia berkata: Aku habis bertengkar dengan mereka,
mereka memukuliku! Maka aku katakan kepadanya: Sekarang engkau telah berjalan
di atas manhaj dakwah para Nabi. Kalau engkau tetapi seperti dulu
bertahun-tahun, engkau tidak akan berselisih dengan seorangpun. Dari sinilah
kelompok yang ada ini bergerak, mereka memerangi bagian ini. Nabi bersabda Shalallahu
‘Alaihi wasallam:
“Manusia yang paling berat diberi cobaannya
adalah para Nabi, kemudian yang semisalnya dan kemudian yang semisalnya.”
Karena mereka menghadapi berbagai
gangguan yang hanya Allah yang tahu tentang kerasnya gangguan itu ketika mereka
berdakwah kepada tauhid dan membasmi kesyirikan. Dari sinilah para da’i yang
mengajak kepada tauhid dan membasmi syirik malah disakiti. Kalau dakwah Ikhwan
dan Tabligh disenangi manusia karena meremehkan sisi ini. Tapi kalau aku
berkhuthbah di masjid seperti ini, sedikit sekali yang mau mendengarku dan
menerima dakwahku, kecuali orang-orang yang dikehendaki Allah. Kalau aku
berdakwah mengajak shalat, mereka akan berkata: silahkan. Tapi kalau aku
berdakwah untuk bertauhid dan memerangi kesyirikan, semuanya akan lari dan
merasa asing. Inilah dakwah para Nabi.
Inilah dasarnya mengapa mereka
menjadi manusia yang paling banyak ganngguannya. Sekarang para salafiyyun, para
da’i kepada tauhid keadaan mereka dikaburkan oleh manusia. Karena banyaknya
fitnah, kebohongan-kebohongan dan tuduhan dusta yang ditujukan kepada mereka.
Mengapa? Karena mereka mengajak untuk mentauhidkan Allah!
Kelompok ini tidak bisa masuk ke
dalam lapangan ini, karena mereka takut kepada sisi ini. Tetapi mereka akan
ditanya di hadapan Allah. Demi Allah, telah datang kepada kami seseorang atau
segolongan Tabligh di Benares, di sebuah rumah yang saya tempati dengan syaikh
Shalih Al Iraqi. Mereka berkata: Kami dengar kalian datang, kami sangat senang,
maka kami datang mengunjungi kalian agar kalian ikut bersama kami berdakwah
kepada Allah. Dan tempat kami adalah masjid ini. Maka kami juga gembira dan
mendatangi masjid itu, ternyata masjid itu tempat tarikat Berelwian. Mereka
adalah para penyembah berhala dan sangat keterlaluan dalam penyembahan itu.
Mereka meyakini bahwa para wali bisa
mengetahui perkara yang ghaib dan mengatur alam. Mereka membolehkan untuk
bernadzar, menyembelih, sujud dan ruku’ kepada kuburan. Singkat kata: mereka
adalah golongan penyembah berhala. Maka Syaikh Shalih pergi dan bersama kami
ada seorang penerjemah, namanya Abdul Alim, sekarang dia ada di Rabithah Al
Alam Islami. Kami bawa orang ini untuk menerjemahkan ucapan syaikh. Maka
syaikhpun berbicara. Setiap selesai berbicara beliau melihat kepada penerjemah
agar diterjemahkan. Maka penerjemahpun akan bergerak, maka ternyata pemimpin
tabligh melihat dan berkata: Tunggu, saya yang akan menerjemahkan. Maka syaikh
terus berbicara, tapi tidak ada seorangpun yang menerjemahkan. Hingga
ceramahnya selesai. Ketika selesai acara itu dia mengucap salam dan malah
pergi. Maka kami tetap di situ menunggu terjemah. Dia berkata: Saya ada
keperluan, biar orang ini yang menerjemahkan. Maka kami shalat Isya’ sambil
menunggu terjemahan ceramah itu, tapi tidak kunjung diterjemahkan. Maka saya
temui lagi orang itu dan mengatakan: Ya akhi, kami datang ke tempat kalian ini
bukan untuk main-main. Tapi kalian tadi meminta kepada kami untuk ikut serta
bersama kalian berdakwah, maka kamipun datang menyambut ajakan kalian. Dan
syaikh tadi telah berbicara. Ketika penerjemah akan menerjemah engkau malah
melarangnya. Dan engkau menjanjikan akan menerjemahkannya, tapi engkau tidak
lakukan sedikitpun. Maka dia berkata: Ya akhi, engkau tahu?! Masjid ini milik
Khurafiyyin!! Kalau kita berbicara tentang tauhid, mereka akan mengusir kita
dari masjid. Maka saya katakan: Ya akhi, apakah seperti ini dakwah para Nabi?
Ya akhi, dakwah kalian sekarang menyebar di penjuru dunia. Kalian pergi ke
Amerika, Iran dan Asia, kalian tidak dapati sedikitpun perlawanan
selama-lamanya. Apakah seperti ini dakwah para Nabi? Semua manusia menerimanya
dan menghormatinya? Dakwah para Nabi padanya ada pertempuran, darah,
kesusahan-kesusahan dan lain-lain. Kalau engkau diusir dari suatu masjid,
berdakwahlah di masjid lain atau di jalan-jalan atau di hotel-hotel. Katakan
kalimat yang haq dan tinggalkan. Rasul saja diusir dari Mekkah karena sebab
dakwah ini. Kemudian saya tanya sudah berapa lama dakwah ini berjalan? Dia
berkata: Belum tiga puluh tahun. Saya katakan: Kalian telah menyebar di India,
utara dan selatan. Dan engkau melihat fenomena kesyirikan di hadapanmu dan
telah mati berjuta-juta orang. Sudah berapa juta orang yang mati selama itu
dalam keadaan berada di atas kesesatan, kesyirikan dan bid’ah yang kalian
sebarkan ini?! Dan engkau belum menerangkan hal itu kepada mereka! Apakah
engkau tidak merasa kalau engkau akan ditanya di hadapan Allah karena engkau
menyembunyikan kebenaran ini dan tidak menyampaikannya kepada para hamba
Allah?! Diapun diam. Maka aku permisi dan keluar.
Mereka menyembunyikan kebenaran yang
dinyatakan Al Qur`an. Dan mereka tidak menegakkan panji-panji tauhid dan tidak
mau menyatakan peperangan kepada kesyirikan dan bid’ah. Mereka ini terkena ayat
Allah Azza wa Jallah berfirman:
“Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa
yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan [yang jelas] dan
petunjuk, setelah Kami menerangkan kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu
dilaknati Allah dan dilaknati [pula] oleh semua [makhluk] yang dapat
melaknati.” [Al Baqarah: 159].
Apa yang mereka dapati kalau mereka
telah menyembunyikan kebenaran yang paling nyata?! Dan hal yang paling besar
yang bukti-bukti itu berdiri di atasnya?! Bukti-bukti yang paling besar adalah
ayat-ayat tauhid. Dakwah yang paling besar yang dilakukan para nabi dan Al
Qur`an adalah tauhid. Dan yang paling jelek dan bahaya adalah syirik dan
bid’ah. Al Qur`an dan Sunnah telah memeranginya. Kemudian mereka malah setuju
dan bersama kesyirikan, bid’ah, dan para pendukungnya sampai mati. Berapa
banyak orang yang mati di bawah panji ini dalam keadaan tidak tahu kebenaran
tauhid selama itu?! Dan dalam keadaan tidak bisa membedakan antara tauhid
dengan syirik?!
Kalau mereka tidak dihisab karena
menyembunyikan ayat tauhid, maka siapa lagi yang dihisab?
Kita berharap kepada Allah agar
menjadi orang yang menolong agama ini dan menasehati kaum muslimin. Dan agar
Allah menjauhkan kita dari sifat menipu dalam agama, karena membiarkan bid’ah
dan syirik adalah penipuan yang paling besar. Tidak ada penipuan yang bisa
menyaingi penipuan ini. Kalau menipu manusia dalam perdagangan saja Rasulullah berlepas
tangan, maka bagaimana lagi kalau menipu dalam agama? Bagaimana engkau bisa
diam terhadap kesyirikan dan bid’ah?! Engkau merusak aqidah kaum muslimin dan
masyarakat mereka. Kemudian engkau mengatakan: Kita semua kaum muslimin,
bersaudara dan engkau tidak menerangkan mana yang haq dan mana yang batil?!
Kita memohon kepada Allah agar Dia menjaga kita dari penyakit ini.” (Dari kaset
Al Qaulul Baligh)
8. Syaikh Shalih bin ‘Abdullah Al
Abud Hafidhahullah
Adapun tabligh… ketika Khilafah
Utsmaniyyah runtuh bangkitlah firqah ini dengan pemikiran jama’ah ini, firqah
tabligh. Dan mereka membuat dasar-dasar untuk para pengikutnya dengan nama
“Ushulus Sittah” yang mereka dakwahkan manusia kepadanya. Dan di akhirnya
mereka membai’at menurut empat macam tarekat sufi; Jistiyyah, Syahrawardiyyah,
Naqsyabandiyah dan Matur… saya lupa yang keempat, yang jelas empat tarekat.
Mereka dalam bidang aqidah adalah Maturidiyah atau Asy’ariyyah. Dan dalam
pemahaman syahadat mereka, yaitu syahadat Laa Ilaaha Illallah dan Muhammad
Rasulullah. Mereka tidak memahami maknanya kecuali bahwa: Tidak ada yang Kuasa
untuk Mencipta dan Mengadakan serta Membuat kecuali Allah. Dan dalam memahami
makna Muhammad Rasulullah, (mereka tidak memahaminya seperti yang kita fahami,
yaitu membenarkan apa yang beliau sampaikan, mentaati apa yang beliau
perintahkan, menjauhi apa yang beliau larang dan peringatkan dan Allah tidak
diibadahi kecuali dengan apa yang beliau syariatkan). Pemahaman ini tidak ada
di kalangan jama’ah tabligh, bahkan kadang-kadang mereka mengkultuskan
individu-individu tertentu dan menyatakan mereka memiliki ‘Ishmah (tidak akan
salah). Dan sampai-sampai bila para syaikhnya mati, mereka bangun di atas
kuburannya bangunan-bangunan dalam masjid. Tabligh adalah firqah, tanpa perlu
diragukan lagi. Karena menyelisihi firqatun Najiyah. Mereka memiliki manhaj
khusus. Yang tidak ikut ke dalamnya tidak dianggap sebagai orang yang mendapat
hidayah. Tabligh membagi manusia menjadi: Muhtadi (orang yang mendapat hidayah)
dan manusia yang masih diharapkan mendapat hidayah (tim penggembira saja
–pent). Golongan Muhtadi adalah yang telah masuk keseluruhan dalam tandhim
(keorganisasian) dan firqah mereka. Dan yang non Muhtadi, tidak termasuk
golongan mereka walaupun dia imam kaum muslimin. Ini dalam pemahaman mereka.
Ikhwanul Muslimin juga demikian,
yang termasuk tandhim mereka adalah Ikhwanul Muslimin dan yang tidak masuk,
maka bukan Ikhwanul Muslimin walaupun orang itu adalah alim dalam Islam. Cukup
sikap ta’ashshub ini menjadi dalil bahwa mereka telah mengeluarkan diri-diri
mereka sendiri dari jama’ah kaum muslimin. Karena jama’ah kaum muslimin tidak
menganggap bahwa hidayah hanya sampai kepada mereka saja. Dan manhaj mereka
adalah manhaj yang paling luas, karena mereka tidak mencap setiap orang yang
tidak sefaham dengan mereka sebagai orang kafir. Tapi mereka masih mengakui
bahwa mereka adalah kaum muslimin dan mengharapkan agar dia mendapat hidayah.
Meskipun orang itu mengkafirkan mereka, mereka tetap tidak membalasnya dengan
mengkafirkannya pula. Maka manhaj Firqatun Najiyah adalah manhaj yang paling
luas dalam hal ini. Wallahu A’lam.
(Semua fatwa ini diambil dari kaset
Al Qaulul Baligh ‘ala Dzammi Jama’atit Tabligh)
9. Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i
hafidhahullah
Setelah membawakan pendirian beliau
terhadap Ikhwanul Muslimin beliau berkata: “Adapun Jama’ah tabligh, silakan
engkau membaca apa yang dituturkan syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Al
Washshabi, ia berkata:
1. Mereka mengamalkan hadits-hadits
dla’if (lemah) bahkan maudlu’ (palsu) serta Laa Ashla Lahu (tidak ada asalnya).
2. Tauhid mereka penuh dengan
bid’ah, bahkan dakwah mereka berdasarkan bid’ah. Karena dakwah mereka
berdasarkan Al Faqra (kefakiran) yaitu khuruj (keluar). Dan ini diharuskan di
setiap bulan 3 hari, setiap tahun 40 hari dan seumur hidup 4 bulan, dan setiap
pekan 2 jaulah… jaulah pertama di Masjid yang didirikan shalat padanya dan yang
kedua berpindah-pindah. Di setiap hari ada 2 halaqah, halaqah pertama di masjid
yang didirikan shalat padanya, yang kedua di rumah. Mereka tidak senang kepada
seseorang kecuali bila dia mengikuti mereka. Tidak diragukan lagi bahwa ini
adalah bid’ah dalam agama yang tidak diperbolehkan Allah Ta’ala.
3. Mereka berpendapat bahwa dakwah
kepada tauhid akan memecah belah ummat saja.
4. Mereka berpendapat bahwa dakwah
kepada sunnah juga memecah belah ummat.
5. Pemimpin mereka berkata dengan
tegas bahwa: Bid’ah yang bisa mengumpulkan manusia lebih baik daripada sunnah
yang memecah belah manusia.
6. Mereka menyuruh manusia untuk
tidak menuntut ilmu yang bermanfaat secara isyarat atau terang-terangan.
7. Mereka berpendapat bahwa manusia
tidak bisa selamat kecuali dengan cara mereka. Dan mereka membuat permisalan
dengan perahu Nabi Nuh ‘alaihis salam, siapa yang naik akan selamat dan siapa
yang enggan akan hancur. Mereka berkata: “Sesungguhnya dakwah kita seperti
perahu Nabi Nuh.” Ini saya dengar dengan telinga saya sendiri di Urdun
(Yordania –ed) dan Yaman.
8. Mereka tidak menaruh perhatian
terhadap tauhid Uluhiyyah dan Asma` was Sifat.
9. Mereka tidak mau menuntut ilmu
dan berpendapat bahwa waktu yang digunakan untuk itu hanya sia-sia belaka.”
(Dinukil dari kutaib Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna, Syaikh Muqbil bin Hadi al
Wadi’i hafidhahullah hal. 15-17)