Qunut Shubuh adalah sebuah perkara
yang sering menjadi bahan polemik dan khilaf di kalangan kaum muslimin sehingga
ada masjid yang ber-qunut dan ada yang tidak qunut.
Kelompok yang ber-qunut pun
menyalahkan yang tidak ber-qunut dan menganggapnya sebagai aliran sesat.
Akhirnya, terjadilah perpecahan yang dilatari oleh permasalahan qunut.
Terkadang ada diantara mereka yang ekstrim dalam menyikapi saudaranya yang
tidak ber-qunut dengan mencapnya sebagai “orang sesat”!!
Sebenarnya kalau mereka jujur mau
mencari kebenaran, maka pasti mereka akan bertanya, “Manakah pendapat yang
benar dan dikuatkan oleh dalil?” Namun kebanyakan kaum muslimin di negeri ini
tidak mau pusing dan hanya taklid kepada sebagian ustadz atau anre guru (kiyai)
diantara mereka. Akibatnya bukan kebaikan, tapi perseteruan yang membingungkan.
Para pembaca yang budiman, fenomena
dan polemik seperti ini perlu kita dudukkan sesuai porsinya menurut tinjauan
dalil syar’i dan komentar para ulama, bukan menurut hawa nafsu dan pendapat
belaka.
Masalah qunut telah lama
diperbincangkan oleh para ulama kita sejak muncul pendapat ini dari sebagian
ulama, seperti Al-Imam Asy-Syafi’iy -rahimahullah- dan
lainnya. Pendapat ini menyatakan bahwa disunnahkan melakukan qunut secara rutin
dan terus menerus di saat sholat Shubuh, tanpa sholat lain dengan doa yang
biasa disebut dengan “doa qunut”.
Para ulama yang berpendapat demikian
berdalil dengan sebagian hadits-hadits. Sebagian hadits-hadits itu shohih, namun tidak jelas menyatakan adanya qunut subuh yang rutin.
Dalil yang paling jelas dalam menguatkan qunut subuh yang rutin di waktu subuh
adalah hadits di bawah. Namun sayangnya hadits ini lemah, berikut rinciannya:
Anas -radhiyallahu anhu- berkata,
مَا
زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ
حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- senantiasa melakukan qunut di waktu sholat fajar (shubuh) sampai beliau
meninggal dunia”.
[HR. Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf
(3/110), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (2/312), Ahmad dalam Al-Musnad
(3/162), Ad-Daruquthniy dalam Sunan-nya (2/39), Al-Baihaqiy dalam As-Sunan
Al-Kubro dan lainnya]
Para imam tersebut meriwayatkan
hadits ini dari jalur Isa bin Maahaan yang dikenal dengan “Abu Ja’far Ar-Roziy”
dari Anas bin Malik -radhiyallahu anhu-. Hadits ini tidak shohih alias dho’if
(lemah), karena Abu Ja’far Ar-Roziy adalah seorang rawi yang jelek hafalannya,
kacau dan sering salah dalam meriwayatkan hadits sehingga ia sering
meriwayatkan hadits-hadits yang munkar, seperti hadits qunut ini!! Para ahli
hadits tidak berhujjah dengan hadits-hadits yang ia riwayatkan secara
bersendirian.
Hadits ini memiliki beberapa syawahid
(penopang). Akan tetapi semua syawahid itu lebih lemah dibandingkan sanad
hadits di atas, sebab di dalamnya terdapat rawi-rawi yang tertuduh dusta
sehingga tentunya semua syawahid itu tidak bisa menguatkan hadits Anas.
Karenanya, Ahli Hadits Negeri Syam di abad ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albaniy -rahimahullah- menyatakan dho’if-nya hadits ini. Bahkan menurutnya,
hadits ini munkar (menyelisihi hadits-hadits shohih lainnya). [Lihat
Adh-Dho’ifah (no. 1238)]
Selain itu, anggaplah hadits Anas di
atas adalah hadits shohih, maka di dalam hadits itu juga tidak ada dalil yang
menunjukkan atas doa qunut yang rutin yang kita kenal. Karenanya, Al-Imam Ibnul
Arabiy dan Al-Hafizh Zainuddin Al-Iroqiy menyatakan bahwa kata “qunut” (الْقُنُوْتُ) di dalam bahasa
Arab memiliki sekitar 10 makna, diantaranya ia bermakna doa, khusyu’,
beribadah, taat, menegakkan ketaatan, menghambakan diri, diam, berdiri, lama
berdiri dan kontinyu dalam ketaatan. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih
Al-Bukhoriy (2/633)]
Para pembaca yang budiman, hadits
Anas di atas tidak bisa dijadikan dalil oleh orang yang menyatakan sunnahnya
qunut subuh yang rutin, sebab makna qunut disitu tidak dijelaskan tentang
maksudnya, apakah qunut bermakna doa atau lama berdiri atau makna lainnya?!!.
Hadits Anas di atas
semakin lemah, sebab ia menyelisihi hadits-hadits shohih yang menjelaskan bahwa
qunut bukan hanya di waktu sholat shubuh, dan qunut bukanlah disyariatkan
secara rutin dan terus menerus. Qunut hanya dikerjakan bila ada sebab dan
kejadian atau ketika sholat witir. Itupun tidak dilakukan terus-menerus!!
Pendapat yang menyatakan bahwa
disyariatkan melakukan qunut rutin di waktu sholat Shubuh saja adalah pendapat yang lemah dari beberapa segi
berikut ini (selain sisi lemahnya dalil mereka):
Pertama, Sahabat Anas sendiri telah mengabarkan bahwa Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- pernah qunut dalam sholat Shubuh dan Maghrib.
Anas bin Malik -radhiyallahu anhu- berkata,
كَانَ
الْقُنُوتُ فِي الْمَغْرِبِ وَالْفَجْرِ
“Dahulu qunut terdapat dalam sholat
Maghrib dan Shubuh”. [HR. Al-Bukhoriy (no. 798 & 1004)]
Di dalam hadits ini, Anas tidak
mengkhususkan qunut pada sholat Shubuh, lalu mengapa sebagian orang
mengkhususkan qunut pada sholat shubuh saja, tanpa sholat lain?!! Jelas itu
menyelisihi pernyataan Anas -radhiyallahu anhu- dalam hadits ini!!
Kedua, Anas bin Malik juga mengabarkan bahwa para sahabat tidak
pernah qunut dan awal mula mereka qunut untuk mendoakan kejelekan bagi suku
Ri’lin dan Dzakwan. Lalu mereka meninggalkan qunut.
Anas -radhiyallahu anhu- berkata,
بَعَثَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعِينَ رَجُلًا لِحَاجَةٍ
يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ فَعَرَضَ لَهُمْ حَيَّانِ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ رِعْلٌ
وَذَكْوَانُ عِنْدَ بِئْرٍ يُقَالُ لَهَا بِئْرُ مَعُونَةَ فَقَالَ الْقَوْمُ وَاللَّهِ
مَا إِيَّاكُمْ أَرَدْنَا إِنَّمَا نَحْنُ مُجْتَازُونَ فِي حَاجَةٍ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَتَلُوهُمْ فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الْغَدَاةِ وَذَلِكَ
بَدْءُ الْقُنُوتِ وَمَا كُنَّا نَقْنُتُ
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
pernah mengutus 70 orang untuk suatu hajat. Mereka disebut qurro’ (ahli
Qur’an). Lalu mereka dihadang oleh dua rombongan dari Bani Sulaim, yaitu Ri’lin
dan Dzakwan di sisi sumur yang bernama Sumur Ma’unah. Para qurro’ berkata,
“Bukan kalian yang kami tuju; kami hanyalah lewat untuk suatu hajatnya Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- . Mereka pun membunuh para qurro’. Karenanya,
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mendoakan keburukan bagi mereka (dua
rombongan) selama sebulan dalam sholat Shubuh. Itulah permulaan qunut dan kami
dulu tidak pernah qunut”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 4088)]
Hadits ini menunjukkan bahwa
bukanlah termasuk petunjuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seseorang
melakukan qunut secara kontinyu. Ucapan Anas, “Itulah permulaan qunut”, dan
ucapan beliau dalam riwayat Abu Dawud (no. 1445), “Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- qunut selama sebulan, lalu ia tinggalkan”, kedua ucapan ini menunjukkan
bahwa qunut itu hanyalah sementara dan hanya dilakukan saat ada momen yang
penting atau masalah genting yang dihadapi oleh kaum muslimin, bukan setiap
hari.
Ketiga, Qunut yang ada dalam Sunnah hanya ada dua: Qunut Nazilah
saat terjadinya suatu nazilah (peristiwa) dan Qunut Witir. Adapun qunut Shubuh
rutin, maka tidak ada dalam kebiasaan para sahabat. Karenanya, seorang sahabat
yang mulia Thoriq bin Asy-yam mengingkarinya. Abu Malik Al-Asyja’iy berkata
kepada bapaknya (Thoriq bin Asy-yam),
يَا
أَبَةِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ هَا
هُنَا بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ قَالَ أَيْ
بُنَيَّ مُحْدَثٌ
“Wahai bapakku, sesungguhnya anda
telah sholat di belakang Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, Abu Bakar,
Umar, Utsman dan Ali bin Abi Tholib disini, di Kufah selama lima tahun. Apakah
mereka qunut?” Bapaknya berkata, “Wahai anakku, itu adalah perkara yang
diada-ada”. [HR. At-Tirmidziy (402) dan lainnya. Di-shohih-kan oleh
Al-Albaniy dalam Al-Misykah (1292)]
Seakan-akan Thoriq bin Asy-yam
mengingkari orang-orang yang melazimi qunut shubuh, tanpa ada sebab yang
mengharuskannya. Beliau tidaklah mengingkari qunut secara umum, sebab beliau
jelas telah menyaksikan para kholifah yang empat melakukan qunut nazilah. Yang beliau ingkari,
adanya sebagian orang yang melazimi qunut pada waktu tertentu, tanpa ada sebab
yang mengharuskannya, wallahu a’lam.
Al-Imam Az-Zaila’iy -rahimahullah- berkata,
“Hadits ini menunjukkan bahwa mereka tidaklah melazimi qunut rutin, wallahu
a’lam”. [Lihat Nashbur Rooyah (8/460)]
Qunut yang dikenal oleh para sahabat
dalam sholat wajib adalah qunut nazilah yang dilakukan saat ada peristiwa
penting dan genting. Abu Hurairah pernah menceritakan bahwa Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- qunut untuk mendoakan kemenangan bagi kaum muslimin dan
kejelekan bagi kaum kafir. Usai membawakan isi doa Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-, maka Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata,
وَأَصْبَحَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَلَمْ يَدْعُ
لَهُمْ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ وَمَا تُرَاهُمْ قَدْ قَدِمُوا
“Pada suatu hari, Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- tidak lagi mendoakan kejelekan bagi mereka. Lalu
aku sebutkan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, “Tidakkah engkau melihat
mereka telah datang (yakni, pasukan Islam)”. [HR. Muslim (1540/295/3) dan
Abu Dawud (no. 1442)]
Al-Hafizh Abu Hatim Ibnu Hibban
Al-Bustiy -rahimahullah- (wafat 354 H) berkata, “Di dalam hadits ini terdapat
keterangan yang jelas bahwa qunut di dalam semua sholat hanyalah dilakukan
ketika terjadinya suatu peristiwa, seperti kemenangan musuh-musuh Allah atas
kaum muslimin, atau ada yang men-zholimi orang lain, atau melampaui batas
atasnya, atau ada suatu kaum yang ingin didoakan atau ada tawanan di tangan
kaum musyrikin dan mau didoakan untuknya agar ia lolos dari tangan mereka atau
perkara lain yang menyerupai beberapa kondisi ini. Jika semua kondisi ini tidak
ada, maka seseorang tidaklah qunut ketika itu dalam suatu sholat apapun. Sebab
Al-Mushthofa (Nabi) -Shallallahu alaihi wa sallam- dulu qunut untuk kejelekan
kaum musyrikin dan untuk mendoakan keselamatan bagi kaum muslimin. Tatkala pada
suatu hari, maka beliau pun meninggalkan qunut”. [Lihat Shohih Ibn Hibban
(6/460)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah-
dari kalangan ulama Syafi’iyyah berkata, “Diambil suatu kesimpulan dari
hadits-hadits itu bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidaklah pernah
qunut, kecuali karena nazilah (musibah atau peristiwa penting). Hal itu telah
datang secara gamblang. Maka di sisi Ibnu Hibban dari Abu Hurairah, ia berkata,
“Dulu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- tidaklah qunut dalam sholat
shubuh, kecuali untuk mendoakan kebaikan bagi suatu kaum atau mendoakan
kejelekan bagi suatu kaum”. Di sisi Ibnu Khuzaimah juga ada hadits yang
semisalnya. Sedang sanad setiap dari keduanya adalah shohih”. [Lihat
Ad-Diroyah (hal 117) via ta’liq Siyarul A’lam (6/185) oleh Al-Arna’uth]
Keempat: Doa qunut bagi qunut Shubuh yang rutin tidak ada contohnya
dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Adapun doa qunut yang biasa dibaca
oleh kaum muslimin dalam sholat shubuh, maka sebenarnya itu bukan doa qunut
dalam sholat fardhu, tapi doa qunut dalam sholat sunnah witir sebagaimana kata
sahabat Al-Hasan bin Ali -radhiyallahu anhu-,
عَلَّمَنِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي
الْوِتْرِ اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ
وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ
مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ
مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- telah mengajari aku tentang suatu kalimat yang aku akan ucapkan dalam
witir,
اللَّهُمَّ
اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ
تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ
فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ
تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
“Ya Allah, tunjukilah aku dalam barisan
orang yang Engkau beri petunjuk; selamatkan aku dalam barisan orang-orang yang
Engkau selamatkan, cintailah aku dalam barisan orang-orang yang Engkau cintai;
berkahilah aku dalam sesuatu yang Engkau berikan; Lindungilah aku dari
keburukan sesuatu yang Engkau putuskan, karena Engkaulah yang memutuskan dan
tidak diputuskan bagi-Mu (yakni, keputusan-Mu tidak terkalahkan) dan tidak hina
orang yang Engkau muliakan. Maha Berkah Engkau, wahai Robb kami dan Maha
Tinggi”. [HR. Abu Dawud (1425), At-Tirmidziy (464), An-Nasa’iy (3/248), dan
Ibnu Majah (1178). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih
Sunan Abi Dawud (1/392)]